Katakan
Tidak pada kekerasan dalam rumah tangga, slogan ini banyak menghiasi
tempat-tempat umum. Dan ternyata slogan ini hanya menjadi slogan belaka yang
menjadi hiasan tempat-tampat umum. Tetapi, jika setiap individu sudah berkomitmen untuk tidak melakukan kekerasan rumah tangga
maka hal ini akan menjadi perilaku kolektif.
Fenomena kekerasan dalam rumah tangga sebenarnya bukan
sesuatu yang baru, bahkan sudah ada sejak jaman “bahela” hanya saja saat ini
perkembangan kasus-kasusnya semakin bervariasi. Hal ini juga diikuti oleh
kesadaran dari korban untuk melaporkan kepada aparat hukum atau lembaga yang
memiliki kepedulian tinggi terhadap kasus kekerasan rumah tangga (anak dan
perempuan). Berdasarkan beberapa laporan dari berbagai daerah di tanah air,
kasus KDRT menunjukkan peningkatan yang signifikan. Biasanya kasus semacam ini
fenomenanya seperti gunung es, yang muncul di permukaan hanya sebagian
kecilnya, yang tersimpan di bawah permukaan biasanya lebih besar, dan jika
digali lebih jauh ke dasarnya, akan ditemui kasus yang lebih banyak lagi. Hal ini terjadi karena berbagai faktor, diantaranya:
- Masih redahnya kesadaran untuk berani melapor terutama dari pihak korban. Bentuk-bentuk kecemasan lain telah menghantui korban saat akan melaporkan kasus yang menimpanya. Misalnya takut berurusan dengan polisi, atau aparat hukum lain, takut upermasalahannya menjadi panjang dan kemudian melibatkan banyak orang.
- Masalah budaya, di Indonesia hampir sebagian besar masyarakatnya menganut sistem patrilineal, yang mengutamakan peran laki-laki dalam rumah tangga. Hal ini dapat menjadi kendala yang sangat besar bagi penanganan kasus KDRT. Apalagi korban (biasanya istri), yang tidak bekerja dan sumber penghidupannya dari suami posisinya sangat lemah. Maka saat terjadi kasus kekerasan yang melibatkan suaminya, korban akan berpikir untuk melaporkan suaminya.
- Adanya anggapan bahwa aib keluarga jangan sampai diketahui oleh orang lain. Hal ini menyebabkan munculnya perasaan malu karena akan dianggap oleh lingkungan tidak mampu mengurus rumah tangga. Jadi rasa malu mengalahkan rasa sakit hati.
- Kurang tanggapnya lingkungan atau keluarga terdekat untuk merespon apa yang terjadi, hal ini dapat menjadi tekanan tersendiri bagi korban. Karena bisa saja korban beranggapan bahwa apa yang dialaminya bukanlah hal yang penting karena tidak direspon lingkungan, hal ini akan melemahkan keyakinan dan keberanian korban untuk keluar dari masalahnya.
- Kurangnya pengetahuan korban mengenai lembaga yang dapat memberikan bantuan terhadap permasalahan yang dialaminya, dan masih banyak lagi faktor-faktor lainnya.
Faktor-faktor tersebut bisa menjadi alasan penguat mengapa kita perlu
menginternalisasi dan meningkatkan komitmen pribadi untuk mengatakan “tidak”
pada KDRT.
Bentuk KDRT
§ Kekerasan Fisik
Bentuk kekerasan fisik adalah salah
satu yang paling banyak terjadi dan paling mudah dilihat akibatnya. Hal ini terjadi
karena salah satu pasangan kurang mampu mengendalikan emosi, untuk menyalurkan
perasaan agresinya maka terjadilah bentuk kekerasan fisik. Bentuknya dapat
bermacam-macam, mulai dari penganiayaan ringan hingga berat. Pasangan yang kurang
matang secara emosional, kurang mampu mengkomunikasikan kebutuhan dan saling
memahami sering menjadi pemicu munculnya kekerasan fisik.
§ Kekerasan Psikis
Bentuk kekerasan lain yang tidak kalah pentingnya adalah kekerasan psikis
atau mental. Bisanya muncul dalam bentuk kata-kata penghinaan, pelecehan,
bentakan dan ancaman dan lain-lain. Hal yang kerap kali terjadi adalah salah
satu pasangan memutuskan komunikasi. Karena merasa jengkel dan tidak mampu
mengekspresikan perasaannya, biasanya salah satu pasangan akan memilih untuk
tidak berbicara dengan pasangannya. Sebagian pasangan akan merasa tidak nyaman
dengan kondisi ini, sebab merasa tidak tahu harus berbuat apa karena
pasangannya tutup mulut. Sering kali salah satu pihak (suami/istri) mengharapkan
dimengerti oleh pasangannya dengan tindakan tutup mulut. Jika hal ini terjadi
pemecahan masalah akan menjadi semakin lama.
§ Kekerasan Ekonomi
Pihak yang sering menjadi korban pada bentuk kekerasan ekonomi adalah
istri. Bagi istri yang memiliki pekerjaan mungkin tidak terlalu besar
dampaknya, akan lain ceritanya jika istri hanya sebagai ibu rumah tangga.
Biasanya berbentuk pembiaran, tidak diberikan nafkah atau biaya hidup oleh
suami. Masalah ekonomi sering menjadi penghambat dalam kasus penyelesaian KDRT.
Ada keengganan dari salah satu pasangan untuk melaporkan pasangannya kepada
pihak berwenang, situasi ini mengakibatkan korban berada dalam posisi yang
sangat lemah. Karena jika ia melaporkan pasangannya maka akan muncul masalah
baru yakni masalah ekonomi. Sehingga tidak jarang ditemui korban yang
sebelumnya melaporkan pasangannya pada akhirnya menarik kembali laporannya.
§ Kekerasan Seksual
Bentuk kekerasan lain adalah kekerasan seksual. Salah satu bentuknya adalah
pemaksaan keinginan untuk melakukan hubungan seksual kepada pasangan. Salah
satu pasangan mungkin saja tidak sedang dalam suasana hati yang nyaman untuk
berhubungan, namun tetap diminta untuk melayani keinginan pasangannya. Bentuk
yang lebih ekstrim lagi adalah adanya eksploitasi secara seksual terhadap
pasangan (biasanya istri) dengan motif tertentu.
Pengaruhnya terhadap kepribadian
anak
Selain
masalah yang telah diuraikan di atas ada berbagai hal yang dapat menjadi faktor
pendukung terjadinya kekerasan dalam rumah tangga. Secara teoritis, kekerasan yang
dilakukan dalam rumah tangga juga diakibatkan oleh adanya faktor pembelajaran.
Belajar di sini memiliki arti yang luas, baik sifatnya langsung atau
tidak langsung, disadari atau tidak disadari. Modeling merupakan cara yang paling
mudah dilakukan oleh individu untuk belajar susuatu. Belajar melalui modeling
tidak mengharuskan seseorang mengalami sendiri atau melakukan sendiri sutu
tindakan, tapi cukup hanya dengan melihat dan meniru tindakan orang lain. Dalam
lingkungan keluarga anak akan meniru tingkah laku orang tuanya, karena orang
tua adalah orang terdekat bagi anak dan sekaligus model yang bersifat langsung.
Anak yang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga, memiliki kecenderungan
untuk lebih mudah melakukan tindakan yang sama. Hal ini terjadi karena anak
memperoleh model dalam cara menyelesaikan masalah. Misalnya ia melihat orang
tuanya bertengkar dan kemudian melihat salah satu orang tuanya menggunakan
kekerasan, pengalaman tersebut akan selalu membekas dalam dirinya, dan menjadi
salah satu referensinya saat menyelesaikan masalah. Berdasarkan situasi
tersebut fenomena KDRT dapat “menular” kepada orang lain. Oleh karena itu
penting kiranya disadari dan dipahami oleh para orang dewasa untuk dapat
mengendalikan dorongan-dorangan. Misalnya dalam situasi marah atau jengkel
hendaknya tidak menampilkannya di depan anak-anak. Kekerasan dalam rumah tangga
dapat memberi dampak negatif bagi perkembangan kepribadian anak. Anak akan
merasa tidak nyaman dan merasa tertekan dengan keadaan orang tuanya. Saat orang
tua berselisih atau bertengkar anak akan mengalami kebingungan terutama dalam
menempatkan posisi dirinya. Kebingungan harus memihak siapa dan bertindak apa.
Jika anak memihak salah satu orang tua mereka maka akan mucul dampak yang lebih
buruk lagi, yakni dalam diri anak mulai tumbuh benih kebencian terhadap salah
satu orang tuanya. Karena ia sudah memiliki kesimpulan terhadap apa yang
terjadi pada orang tuanya sehingga ia memutuskan untuk memihak salah satu dari
orang tuanya. Jika hal ini terus menerus terjadi dapat dibayangkan bagaimana
suasana kehidupan keluarga.
Pengaruhnya terhadap hubungan sosial anak dengan
lingkungannya juga menjadi terganggu. Ia akan mengalami kesulitan dalam
menyesuaikan diri dengan lingkungannya, anak dapat tumbuh menjadi orang yang
kurang mampu dalam mengendalikan perasaannya, tumbuh menjadi orang yang
tertutup, kurang komunikatif, dan kurang percaya diri. Di lingkungan luar rumah
anak akan memperoleh berbagai macam model perilaku, ketika banyak hal berbeda
dengan apa yang ia temui sehari-hari di rumah, dapat menyebabkan anak merasa
asing dengan lingkungannya. Ia akan bertingkah laku berdasarkan referensi yang
telah dimilikinya. Anak akan membutuhkan waktu yang lebih lama dalam proses
adaptasi dengan lingkungannya.
Anak
yang tumbuh dalam rumah tangga kurang harmonis akibat adanya tindak kekerasan
akan memiliki tingkat kecemasan yang tinggi dalam dirinya. Tingkat kecemasan
ini akan berpengaruh terhadap setiap aktivitas yang dilakukannya. Anak dapat
merasa tidak tenang dalam beraktivitas karena ia selalu mengingat dan
mengkhawatirkan kondisi orang tuanya. Pengalaman yang telah tertanam dalam
dirinya tidak akan bisa hilang sampai kapanpun, walaupun berusaha dilupakan,
namun pengalaman tersebut akan tetap mengendap atau tersimpan dalam
ketidak-sadaran dan suatu saat dapat muncul kembali ke kesadaran. Pencetusnya
dapat bermacam-macam. Mulai dari hal yang paling sepele hingga hal yang cukup
berat. Sehingga dampak yang ditimbulkan oleh adanya KDRT lebih banyak
negatifnya. Oleh karena itu sangat penting kiranya kita semua secara
bersama-sama meningkatkan kesadaran dan memperkuat komitmen untuk sedikit demi
sedikit menghapuskan KDRT dari lingkungan yang paling dekat dengan kita.