- Masih redahnya kesadaran untuk berani melapor terutama dari pihak korban. Bentuk-bentuk kecemasan lain telah menghantui korban saat akan melaporkan kasus yang menimpanya. Misalnya takut berurusan dengan polisi, atau aparat hukum lain, takut upermasalahannya menjadi panjang dan kemudian melibatkan banyak orang.
- Masalah budaya, di Indonesia hampir sebagian besar masyarakatnya menganut sistem patrilineal, yang mengutamakan peran laki-laki dalam rumah tangga. Hal ini dapat menjadi kendala yang sangat besar bagi penanganan kasus KDRT. Apalagi korban (biasanya istri), yang tidak bekerja dan sumber penghidupannya dari suami posisinya sangat lemah. Maka saat terjadi kasus kekerasan yang melibatkan suaminya, korban akan berpikir untuk melaporkan suaminya.
- Adanya anggapan bahwa aib keluarga jangan sampai diketahui oleh orang lain. Hal ini menyebabkan munculnya perasaan malu karena akan dianggap oleh lingkungan tidak mampu mengurus rumah tangga. Jadi rasa malu mengalahkan rasa sakit hati.
- Kurang tanggapnya lingkungan atau keluarga terdekat untuk merespon apa yang terjadi, hal ini dapat menjadi tekanan tersendiri bagi korban. Karena bisa saja korban beranggapan bahwa apa yang dialaminya bukanlah hal yang penting karena tidak direspon lingkungan, hal ini akan melemahkan keyakinan dan keberanian korban untuk keluar dari masalahnya.
- Kurangnya pengetahuan korban mengenai lembaga yang dapat memberikan bantuan terhadap permasalahan yang dialaminya, dan masih banyak lagi faktor-faktor lainnya.
Selasa, 07 Oktober 2014
Katakan
Tidak pada kekerasan dalam rumah tangga, slogan ini banyak menghiasi
tempat-tempat umum. Dan ternyata slogan ini hanya menjadi slogan belaka yang
menjadi hiasan tempat-tampat umum. Tetapi, jika setiap individu sudah berkomitmen untuk tidak melakukan kekerasan rumah tangga
maka hal ini akan menjadi perilaku kolektif.
Fenomena kekerasan dalam rumah tangga sebenarnya bukan
sesuatu yang baru, bahkan sudah ada sejak jaman “bahela” hanya saja saat ini
perkembangan kasus-kasusnya semakin bervariasi. Hal ini juga diikuti oleh
kesadaran dari korban untuk melaporkan kepada aparat hukum atau lembaga yang
memiliki kepedulian tinggi terhadap kasus kekerasan rumah tangga (anak dan
perempuan). Berdasarkan beberapa laporan dari berbagai daerah di tanah air,
kasus KDRT menunjukkan peningkatan yang signifikan. Biasanya kasus semacam ini
fenomenanya seperti gunung es, yang muncul di permukaan hanya sebagian
kecilnya, yang tersimpan di bawah permukaan biasanya lebih besar, dan jika
digali lebih jauh ke dasarnya, akan ditemui kasus yang lebih banyak lagi. Hal ini terjadi karena berbagai faktor, diantaranya:
Faktor-faktor tersebut bisa menjadi alasan penguat mengapa kita perlu
menginternalisasi dan meningkatkan komitmen pribadi untuk mengatakan “tidak”
pada KDRT.
Bentuk KDRT
§ Kekerasan Fisik
Bentuk kekerasan fisik adalah salah
satu yang paling banyak terjadi dan paling mudah dilihat akibatnya. Hal ini terjadi
karena salah satu pasangan kurang mampu mengendalikan emosi, untuk menyalurkan
perasaan agresinya maka terjadilah bentuk kekerasan fisik. Bentuknya dapat
bermacam-macam, mulai dari penganiayaan ringan hingga berat. Pasangan yang kurang
matang secara emosional, kurang mampu mengkomunikasikan kebutuhan dan saling
memahami sering menjadi pemicu munculnya kekerasan fisik.
§ Kekerasan Psikis
Bentuk kekerasan lain yang tidak kalah pentingnya adalah kekerasan psikis
atau mental. Bisanya muncul dalam bentuk kata-kata penghinaan, pelecehan,
bentakan dan ancaman dan lain-lain. Hal yang kerap kali terjadi adalah salah
satu pasangan memutuskan komunikasi. Karena merasa jengkel dan tidak mampu
mengekspresikan perasaannya, biasanya salah satu pasangan akan memilih untuk
tidak berbicara dengan pasangannya. Sebagian pasangan akan merasa tidak nyaman
dengan kondisi ini, sebab merasa tidak tahu harus berbuat apa karena
pasangannya tutup mulut. Sering kali salah satu pihak (suami/istri) mengharapkan
dimengerti oleh pasangannya dengan tindakan tutup mulut. Jika hal ini terjadi
pemecahan masalah akan menjadi semakin lama.
§ Kekerasan Ekonomi
Pihak yang sering menjadi korban pada bentuk kekerasan ekonomi adalah
istri. Bagi istri yang memiliki pekerjaan mungkin tidak terlalu besar
dampaknya, akan lain ceritanya jika istri hanya sebagai ibu rumah tangga.
Biasanya berbentuk pembiaran, tidak diberikan nafkah atau biaya hidup oleh
suami. Masalah ekonomi sering menjadi penghambat dalam kasus penyelesaian KDRT.
Ada keengganan dari salah satu pasangan untuk melaporkan pasangannya kepada
pihak berwenang, situasi ini mengakibatkan korban berada dalam posisi yang
sangat lemah. Karena jika ia melaporkan pasangannya maka akan muncul masalah
baru yakni masalah ekonomi. Sehingga tidak jarang ditemui korban yang
sebelumnya melaporkan pasangannya pada akhirnya menarik kembali laporannya.
§ Kekerasan Seksual
Bentuk kekerasan lain adalah kekerasan seksual. Salah satu bentuknya adalah
pemaksaan keinginan untuk melakukan hubungan seksual kepada pasangan. Salah
satu pasangan mungkin saja tidak sedang dalam suasana hati yang nyaman untuk
berhubungan, namun tetap diminta untuk melayani keinginan pasangannya. Bentuk
yang lebih ekstrim lagi adalah adanya eksploitasi secara seksual terhadap
pasangan (biasanya istri) dengan motif tertentu.
Pengaruhnya terhadap kepribadian
anak
Selain
masalah yang telah diuraikan di atas ada berbagai hal yang dapat menjadi faktor
pendukung terjadinya kekerasan dalam rumah tangga. Secara teoritis, kekerasan yang
dilakukan dalam rumah tangga juga diakibatkan oleh adanya faktor pembelajaran.
Belajar di sini memiliki arti yang luas, baik sifatnya langsung atau
tidak langsung, disadari atau tidak disadari. Modeling merupakan cara yang paling
mudah dilakukan oleh individu untuk belajar susuatu. Belajar melalui modeling
tidak mengharuskan seseorang mengalami sendiri atau melakukan sendiri sutu
tindakan, tapi cukup hanya dengan melihat dan meniru tindakan orang lain. Dalam
lingkungan keluarga anak akan meniru tingkah laku orang tuanya, karena orang
tua adalah orang terdekat bagi anak dan sekaligus model yang bersifat langsung.
Anak yang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga, memiliki kecenderungan
untuk lebih mudah melakukan tindakan yang sama. Hal ini terjadi karena anak
memperoleh model dalam cara menyelesaikan masalah. Misalnya ia melihat orang
tuanya bertengkar dan kemudian melihat salah satu orang tuanya menggunakan
kekerasan, pengalaman tersebut akan selalu membekas dalam dirinya, dan menjadi
salah satu referensinya saat menyelesaikan masalah. Berdasarkan situasi
tersebut fenomena KDRT dapat “menular” kepada orang lain. Oleh karena itu
penting kiranya disadari dan dipahami oleh para orang dewasa untuk dapat
mengendalikan dorongan-dorangan. Misalnya dalam situasi marah atau jengkel
hendaknya tidak menampilkannya di depan anak-anak. Kekerasan dalam rumah tangga
dapat memberi dampak negatif bagi perkembangan kepribadian anak. Anak akan
merasa tidak nyaman dan merasa tertekan dengan keadaan orang tuanya. Saat orang
tua berselisih atau bertengkar anak akan mengalami kebingungan terutama dalam
menempatkan posisi dirinya. Kebingungan harus memihak siapa dan bertindak apa.
Jika anak memihak salah satu orang tua mereka maka akan mucul dampak yang lebih
buruk lagi, yakni dalam diri anak mulai tumbuh benih kebencian terhadap salah
satu orang tuanya. Karena ia sudah memiliki kesimpulan terhadap apa yang
terjadi pada orang tuanya sehingga ia memutuskan untuk memihak salah satu dari
orang tuanya. Jika hal ini terus menerus terjadi dapat dibayangkan bagaimana
suasana kehidupan keluarga.
Pengaruhnya terhadap hubungan sosial anak dengan
lingkungannya juga menjadi terganggu. Ia akan mengalami kesulitan dalam
menyesuaikan diri dengan lingkungannya, anak dapat tumbuh menjadi orang yang
kurang mampu dalam mengendalikan perasaannya, tumbuh menjadi orang yang
tertutup, kurang komunikatif, dan kurang percaya diri. Di lingkungan luar rumah
anak akan memperoleh berbagai macam model perilaku, ketika banyak hal berbeda
dengan apa yang ia temui sehari-hari di rumah, dapat menyebabkan anak merasa
asing dengan lingkungannya. Ia akan bertingkah laku berdasarkan referensi yang
telah dimilikinya. Anak akan membutuhkan waktu yang lebih lama dalam proses
adaptasi dengan lingkungannya.
Anak
yang tumbuh dalam rumah tangga kurang harmonis akibat adanya tindak kekerasan
akan memiliki tingkat kecemasan yang tinggi dalam dirinya. Tingkat kecemasan
ini akan berpengaruh terhadap setiap aktivitas yang dilakukannya. Anak dapat
merasa tidak tenang dalam beraktivitas karena ia selalu mengingat dan
mengkhawatirkan kondisi orang tuanya. Pengalaman yang telah tertanam dalam
dirinya tidak akan bisa hilang sampai kapanpun, walaupun berusaha dilupakan,
namun pengalaman tersebut akan tetap mengendap atau tersimpan dalam
ketidak-sadaran dan suatu saat dapat muncul kembali ke kesadaran. Pencetusnya
dapat bermacam-macam. Mulai dari hal yang paling sepele hingga hal yang cukup
berat. Sehingga dampak yang ditimbulkan oleh adanya KDRT lebih banyak
negatifnya. Oleh karena itu sangat penting kiranya kita semua secara
bersama-sama meningkatkan kesadaran dan memperkuat komitmen untuk sedikit demi
sedikit menghapuskan KDRT dari lingkungan yang paling dekat dengan kita.
Ternyata ketika anak sudah mulai
menyukai lawan jenis, itu artinya dia sedang mengenali identitas gender dan
seksualitasnya. Hal ini memang sudah pasti dirasakan oleh setiap anak.
Salah satu problema yang dikhawatirkan oleh orang tua seiring dengan perkembangan anak adalah mulai tertarik dengan lawan jenis. Sangat disayangkan karena seiring berkembangnya zaman dan kultur sosial anak-anak yang belum dalam usia matang pun banyak yang sudah mulai mengenal istilah pacaran.yah, ini yang dibilang kebanyakan orang dengan dewasa sebelum waktunya.
Kenapa demikian? Sejak kapan anak mulai tertarik dengan lawan jenis? Apakah pula dampaknya? Dan, apa yang harus dilakukan oleh orang tua? Pertanyaan-pertanyaan ini sering ditanyakan orang tua, dan ini hal yang wajar karena orang tua ingin memberikan proteksi sejak dini kepada anak-anaknya agar terhindar dari hal-hal yang tidak diinginkan.
Berikut penjelasan Tara de Thouars, BA, M.Psi. , psikolog dari Sanatorium Dharmawangsa dan salah satu pengelola situs konseling webkonseling.blogspot.com .
Identitas Gender
Berdasarkan tahapan perkembangan, anak dengan usia 2-4 tahun pertama kali memahami mengenai identitas gendernya dan mulai menyadari bahwa terdapat perbedaan antara anak perempuan dan laki-laki. Pada usia ini, mereka banyak mengeksplorasi bagian tubuh serta aktivitas yang sesuai dengan gendernya.
Beberapa di antara anak usia ini pun mudah sekali dekat dan atau mengenal lawan jenisnya. “Orang tua sebaiknya jangan bereaksi terlalu keras karena mengenal dekat dengan lawan jenis bagi mereka sangatlah berbeda dari makna yang ada untuk anak remaja,” kata Tara.
Pada usia 5-8 tahun, anak mulai menyadari secara penuh identitas gendernya. Mereka menjadi lebih sadar akan bentuk tubuh yang berbeda antara perempuan dan laki-laki, mulai memiliki perasaan malu terhadap lawan jenis dan menumbuhkan perasaan tabu pada beberapa istilah seksual. Karena itu, pada masa ini anak banyak bermain dengan teman sesama jenis dan banyak mempelajari peran sesuai dengan jenis kelaminnya.
Menjawab Penasaran
Karena rasa penasaran anak mengenai hal-hal terkait dengan seksual masih sangat tinggi, tidak jarang kita banyak melihat anak usia 5-8 tahun mulai tertarik dan berdekatan dengan lawan jenis.
Anak pun mulai banyak bertanya kepada orang tua mengenai hal-hal seksual. Pada masa inilah peran orang tua dan lingkungan menjadi sangat penting untuk membimbing anak. Berikanlah jawaban yang sederhana, apa adanya dan masuk di akal sehingga rasa penasaran anak terjawab dan tidak mencari jawaban dari sumber-sumber lain yang mungkin saja kurang tepat.
Orang tua tidak perlu memberi jawaban dengan sangat detil, biarkan pertanyaan dan komentar anak memberitahu seberapa jauh anak ingin tahu dan siap untuk mendengar jawaban dari orang tua.
Pada masa ini, kedekatan yang ada pada anak- anak yang berbeda jenis lebih banyak didasarkan oleh pengaruh lingkungan dan juga media. Tapi Bagi mereka, hubungan kedekatan itu lebih didasarkan oleh teman yang mereka sering menghabiskan waktu bermain bersama, namun mereka belum memahami arti kedekatan yang sebenarnya.
Hubungan Timbal Balik
Usia 8-12 tahun merupakan masa di mana anak mulai mendekati pubertas. Mereka mulai tertutup akan masalah seksual, meskipun rasa penasaran mereka masih tetap ada.
Mereka juga sudah memahami arti hubungan timbal balik terhadap lawan jenis. Namun sebagian besar anak belum sampai pada menumbuhkan hubungan yang sangat mendalam yang berikan pengaruh besar pada hidup mereka.
Peran orang tua sangatlah penting untuk dapat membimbing anak. Mencoba untuk terbuka (tidak menghakimi) dan bertanya pada anak mengenai cinta, kedekatan dengan lawan jenis, dan masalah seksual dapat membantu anak untuk memiliki rasa penerimaan diri yang lebih besar serta menjadi acuan dan arahan yang berguna untuk mereka, sehingga rasa penasaran dan perilaku anak dalam berpacaran dapat terarah dengan baik.
Anak juga akan mulai mengalami kebingungan perubahan tubuh dan hormon pada saat memasuki pubertas. Pemberian sarana informasi yang tepat dapat sangat berguna untuk mengarahkan anak pada perilaku yang tepat.
Tuntutan Lingkungan
Menginjak usia remaja 13-18 tahun, anak sudah menjadi lebih dewasa dan mulai menggunakan akal pikirannya sendiri dalam bertindak dan bertingkah laku sehingga peran lingkungan sosial menjadi sangat penting bagi anak.
Jadi selain penasaran, dorongan dan keinginan anak untuk lebih dekat dengan lawan jenisnya telah memiliki arti yang berbeda ketimbang masa anak-anak juga terjadi karena tuntutan lingkungan (teman-teman).
Masa ini merupakan masa dimana anak mulai mencari identitas dirinya yang terpisah dari keluarganya. Karenanya, pada masa ini anak banyak mengidentifikasikan dirinya dengan lingkungannya maupun orang lain yang dianggapnya berarti. Terdapat pula kebutuhan-kebutuhan lain yang juga mendorong anak untuk dekat dengan lawan jenisnya, seperti penerimaan, penghargaan, dan lain-lain. Sehingga, selain ketertarikan secara personal, mereka merasa dekat dengan lawan jenis pada masa ini merupakan hal yang wajar bagi mereka.
Beri Contoh
Ketika anak mulai menginjak remaja, kekhawatiran orang tua sangatlah tinggi karena anak dianggap belum cukup dewasa, namun bukan juga anak-anak. Peran orang tua dalam mendampingi anak pada masa ini masih sangat penting. Ketimbang melarang dan menghakimi anak, orang tua dapat memberikan penjelasan mengenai dampak baik dan buruknya dekat dengan lawan jenis, apa yang akan dilalui anak ketika mereka dekat dengan lawan jenisnya, dan sejauh mana sebaiknya anak berinteraksi dengan lawan jenis. Ini akan memberikan kesempatan buat anak untuk berpikir dan menilai situasi dengan lebih tepat dan obyektif.
Berikan anak contoh-contoh dari kejadian nyata agar lebih mudah diterimanya. Yang juga penting adalah memberikan contoh perilaku yang tepat dalam berhubungan dengan orang lain, karena anak biasanya akan melakukan modeling dari orangtuanya.
Dekati anak dan membicarakan mengenai interaksi dengan lawan jenis dan yang sesuai norma. Hal ini dikarenakan interaksi dengan lawan jenis yang dilakukan anak tidak selalunya positif dan terkadang membawa bekas yang mendalam bagi anak. Keterbukaan orang tua terhadap anak justru akan membuat anak lebih siap dan bahagia dalam memasuki masa remaja anak akan merasa telah memiliki bekal untuk melewati masa tersebut dengan tepat.
Selain terbuka pada anak, beri anak aturan dan tanggung jawab dalam pergaulannya agar tidak melanggar norma dan aturan agama, serta tetap dalam batas-batas tertentu. Pemberian aturan bisa didiskusikan dengan anak dengan memberikan alasan yang masuk akal pada anak akan kenapa diharuskan adanya peraturan tersebut. Ini karena anak akan lebih bisa menerima peraturan yang ditetapkan bersama dan dengan alasan yang masuk akal. Tumbuhkan juga rasa saling percaya antara orang tua dan anak agar anak dapat menumbuhkan komitmen dari dirinya sendiri.
Salah satu problema yang dikhawatirkan oleh orang tua seiring dengan perkembangan anak adalah mulai tertarik dengan lawan jenis. Sangat disayangkan karena seiring berkembangnya zaman dan kultur sosial anak-anak yang belum dalam usia matang pun banyak yang sudah mulai mengenal istilah pacaran.yah, ini yang dibilang kebanyakan orang dengan dewasa sebelum waktunya.
Kenapa demikian? Sejak kapan anak mulai tertarik dengan lawan jenis? Apakah pula dampaknya? Dan, apa yang harus dilakukan oleh orang tua? Pertanyaan-pertanyaan ini sering ditanyakan orang tua, dan ini hal yang wajar karena orang tua ingin memberikan proteksi sejak dini kepada anak-anaknya agar terhindar dari hal-hal yang tidak diinginkan.
Berikut penjelasan Tara de Thouars, BA, M.Psi. , psikolog dari Sanatorium Dharmawangsa dan salah satu pengelola situs konseling webkonseling.blogspot.com .
Identitas Gender
Berdasarkan tahapan perkembangan, anak dengan usia 2-4 tahun pertama kali memahami mengenai identitas gendernya dan mulai menyadari bahwa terdapat perbedaan antara anak perempuan dan laki-laki. Pada usia ini, mereka banyak mengeksplorasi bagian tubuh serta aktivitas yang sesuai dengan gendernya.
Beberapa di antara anak usia ini pun mudah sekali dekat dan atau mengenal lawan jenisnya. “Orang tua sebaiknya jangan bereaksi terlalu keras karena mengenal dekat dengan lawan jenis bagi mereka sangatlah berbeda dari makna yang ada untuk anak remaja,” kata Tara.
Pada usia 5-8 tahun, anak mulai menyadari secara penuh identitas gendernya. Mereka menjadi lebih sadar akan bentuk tubuh yang berbeda antara perempuan dan laki-laki, mulai memiliki perasaan malu terhadap lawan jenis dan menumbuhkan perasaan tabu pada beberapa istilah seksual. Karena itu, pada masa ini anak banyak bermain dengan teman sesama jenis dan banyak mempelajari peran sesuai dengan jenis kelaminnya.
Menjawab Penasaran
Karena rasa penasaran anak mengenai hal-hal terkait dengan seksual masih sangat tinggi, tidak jarang kita banyak melihat anak usia 5-8 tahun mulai tertarik dan berdekatan dengan lawan jenis.
Anak pun mulai banyak bertanya kepada orang tua mengenai hal-hal seksual. Pada masa inilah peran orang tua dan lingkungan menjadi sangat penting untuk membimbing anak. Berikanlah jawaban yang sederhana, apa adanya dan masuk di akal sehingga rasa penasaran anak terjawab dan tidak mencari jawaban dari sumber-sumber lain yang mungkin saja kurang tepat.
Orang tua tidak perlu memberi jawaban dengan sangat detil, biarkan pertanyaan dan komentar anak memberitahu seberapa jauh anak ingin tahu dan siap untuk mendengar jawaban dari orang tua.
Pada masa ini, kedekatan yang ada pada anak- anak yang berbeda jenis lebih banyak didasarkan oleh pengaruh lingkungan dan juga media. Tapi Bagi mereka, hubungan kedekatan itu lebih didasarkan oleh teman yang mereka sering menghabiskan waktu bermain bersama, namun mereka belum memahami arti kedekatan yang sebenarnya.
Hubungan Timbal Balik
Usia 8-12 tahun merupakan masa di mana anak mulai mendekati pubertas. Mereka mulai tertutup akan masalah seksual, meskipun rasa penasaran mereka masih tetap ada.
Mereka juga sudah memahami arti hubungan timbal balik terhadap lawan jenis. Namun sebagian besar anak belum sampai pada menumbuhkan hubungan yang sangat mendalam yang berikan pengaruh besar pada hidup mereka.
Peran orang tua sangatlah penting untuk dapat membimbing anak. Mencoba untuk terbuka (tidak menghakimi) dan bertanya pada anak mengenai cinta, kedekatan dengan lawan jenis, dan masalah seksual dapat membantu anak untuk memiliki rasa penerimaan diri yang lebih besar serta menjadi acuan dan arahan yang berguna untuk mereka, sehingga rasa penasaran dan perilaku anak dalam berpacaran dapat terarah dengan baik.
Anak juga akan mulai mengalami kebingungan perubahan tubuh dan hormon pada saat memasuki pubertas. Pemberian sarana informasi yang tepat dapat sangat berguna untuk mengarahkan anak pada perilaku yang tepat.
Tuntutan Lingkungan
Menginjak usia remaja 13-18 tahun, anak sudah menjadi lebih dewasa dan mulai menggunakan akal pikirannya sendiri dalam bertindak dan bertingkah laku sehingga peran lingkungan sosial menjadi sangat penting bagi anak.
Jadi selain penasaran, dorongan dan keinginan anak untuk lebih dekat dengan lawan jenisnya telah memiliki arti yang berbeda ketimbang masa anak-anak juga terjadi karena tuntutan lingkungan (teman-teman).
Masa ini merupakan masa dimana anak mulai mencari identitas dirinya yang terpisah dari keluarganya. Karenanya, pada masa ini anak banyak mengidentifikasikan dirinya dengan lingkungannya maupun orang lain yang dianggapnya berarti. Terdapat pula kebutuhan-kebutuhan lain yang juga mendorong anak untuk dekat dengan lawan jenisnya, seperti penerimaan, penghargaan, dan lain-lain. Sehingga, selain ketertarikan secara personal, mereka merasa dekat dengan lawan jenis pada masa ini merupakan hal yang wajar bagi mereka.
Beri Contoh
Ketika anak mulai menginjak remaja, kekhawatiran orang tua sangatlah tinggi karena anak dianggap belum cukup dewasa, namun bukan juga anak-anak. Peran orang tua dalam mendampingi anak pada masa ini masih sangat penting. Ketimbang melarang dan menghakimi anak, orang tua dapat memberikan penjelasan mengenai dampak baik dan buruknya dekat dengan lawan jenis, apa yang akan dilalui anak ketika mereka dekat dengan lawan jenisnya, dan sejauh mana sebaiknya anak berinteraksi dengan lawan jenis. Ini akan memberikan kesempatan buat anak untuk berpikir dan menilai situasi dengan lebih tepat dan obyektif.
Berikan anak contoh-contoh dari kejadian nyata agar lebih mudah diterimanya. Yang juga penting adalah memberikan contoh perilaku yang tepat dalam berhubungan dengan orang lain, karena anak biasanya akan melakukan modeling dari orangtuanya.
Dekati anak dan membicarakan mengenai interaksi dengan lawan jenis dan yang sesuai norma. Hal ini dikarenakan interaksi dengan lawan jenis yang dilakukan anak tidak selalunya positif dan terkadang membawa bekas yang mendalam bagi anak. Keterbukaan orang tua terhadap anak justru akan membuat anak lebih siap dan bahagia dalam memasuki masa remaja anak akan merasa telah memiliki bekal untuk melewati masa tersebut dengan tepat.
Selain terbuka pada anak, beri anak aturan dan tanggung jawab dalam pergaulannya agar tidak melanggar norma dan aturan agama, serta tetap dalam batas-batas tertentu. Pemberian aturan bisa didiskusikan dengan anak dengan memberikan alasan yang masuk akal pada anak akan kenapa diharuskan adanya peraturan tersebut. Ini karena anak akan lebih bisa menerima peraturan yang ditetapkan bersama dan dengan alasan yang masuk akal. Tumbuhkan juga rasa saling percaya antara orang tua dan anak agar anak dapat menumbuhkan komitmen dari dirinya sendiri.
Logo SMAN Pintar
Kuantan Singingi ini di buat oleh designer terkemuka di SMAN Pintar pada
masanya yakni saudara Khalpan Saputra. Pada saat itu diadakan perlombaan
membuat logo Sman Pintar dari sekian banyak yang mengikuti perlombaan membuat
logo Sman pintar, logo yang terpilih adalah logo buatan Khalpan Saputra. Selain
itu, prestasi yang diperoleh selain menjuarai membuat logo Sman Pintar, Khalpan
Saputra juga berhasil memenangkan design poster yang diadakan pada class
meeting Sman pintar. Selain ahli dalam mendesign khalpan juga memiliki bakat
dalam berbahasa german. Yakni saudara Khalpan saputra ini berhasil memperoleh
peringkat ketiga saat mengikuti Olimpiade Bahasa German seProvinsi Riau.
Jumat, 10 Mei 2013
Pengertian kesehatan reproduksi
adalah suatu keadaan kesehatan yang sempurna baik secara fisik, mental,
dan sosial dan bukan semata-mata terbebas dari penyakit atau kecacatan
dalam segala aspek yang berhubungan dengan sistem reproduksi, fungsi serta prosesnya.
Sedangkan kesehatan reproduksi menurut
WHO adalah suatu keadaan fisik, mental dan sosial yang utuh, bukan
hanya bebas dari penyakit atau kecacatan dalam segala aspek yang
berhubungan dengan sistem reproduksi, fungsi serta prosesnya.
Definisi kesehatan reproduksi
menurut hasil ICPD 1994 di Kairo adalah keadaan sempurna fisik, mental
dan kesejahteraan sosial dan tidak semata-mata ketiadaan penyakit atau
kelemahan, dalam segala hal yang berkaitan dengan sistem reproduksi dan fungsi dan proses.
Pengertian kesehatan reproduksi
ini mencakup tentang hal-hal sebagai berikut: 1) Hak seseorang untuk
dapat memperoleh kehidupan seksual yang aman dan memuaskan serta
mempunyai kapasitas untuk bereproduksi; 2) Kebebasan untuk memutuskan
bilamana atau seberapa banyak melakukannya; 3) Hak dari laki-laki dan
perempuan untuk memperoleh informasi serta memperoleh aksebilitas yang
aman, efektif, terjangkau baik secara ekonomi maupun kultural; 4) Hak
untuk mendapatkan tingkat pelayanan kesehatan yang memadai sehingga
perempuan mempunyai kesempatan untuk menjalani proses kehamilan secara
aman.
Kesehatan Reproduksi Remaja
Secara garis besar dapat dikelompokkan empat golongan faktor yang dapat berdampak buruk bagi kesehatan repoduksi yaitu :
- Faktor sosial-ekonomi dan demografi (terutama kemiskinan, tingkat pendidikan yang rendah, dan ketidaktahuan tentang perkembangan seksual dan proses reproduksi, serta lokasi tempat tinggal yang terpencil).
- Faktor budaya dan lingkungan (misalnya, praktek tradisional yang berdampak buruk pada kesehatan reproduksi, kepercayaan banyak anak banyak rejeki, informasi tentang fungsi reproduksi yang membingungkan anak dan remaja karena saling berlawanan satu dengan yang lain, dsb).
- Faktor psikologis (dampak pada keretakan orang tua pada remaja, depresi karena ketidakseimbangan hormonal, rasa tidak berharga wanita pada pria yang membeli kebebasannya secara materi, dsb).
- Faktor biologis (cacat sejak lahir, cacat pada saluran reproduksi pasca penyakit menular seksual, dsb).
Pernikahan Dini Dalam Perspektif Agama dan Negara
Posted by PIK SMAN PINTAR KUANSING On 15.45 No comments
Langganan:
Postingan (Atom)